Kamis, 08 Januari 2015

Tugas Etika Profesi




Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan

(Kedudukan Pasien, Dokter, dan Analis Kesehatan)






OLEH

Rahmatul Munawwarah

12.901.019

A12



D-3 Analis Kesehatan
Universitas Indonesia Timur
Makassar




PENDAHULUAN

A.       Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan
Dewasa ini dapat dilihat semua bidang kehidupan masyarakat sudah terjamah aspek hukum. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya manusia mempunyai hasrat untuk hidup teratur. Akan tetapi keteraturan bagi seseorang belum tentu sama dengan keteraturan bagi orang lain, oleh karena itu diperlukan kaidah kaidah yang mengatur hubungan antar manusia melalui keserasian antara ketertiban dan landasan hukum. Norma atau kaidah yang mengatur aspek pribadi terdiri dari norma kepercayaan dan norma kesusilaan. Norma kepercayaan bertujuan agar manusia hidup beriman, sedang norma kesusilaan bertujuan agar manusia hidup berakhlak. Norma yang mengatur antar pribadi terdiri dari norma kesopanan dan norma hukum. Suatu norma hukum biasanya dirumuskan dalam bentuk perilaku yang dilarang dengan mendapat sanksi apabila larangan tersebut dilanggar. Norma hukum ada yang tertulis dan ada pula yang tidak tertulis. Hukum tertulis biasanya disamakan dengan peraturan perundangundangan. Secara hirarkis peraturan perundang-undangan di Indonesia tersusun sebagai berikut:
1.  Undang-Undang Dasar 1945
2.  Ketetapan MPR
3.  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang.
4.  Peraturan Pemerintah
5.  Keputusan Presiden
6.  Peraturan-peraturan pelaksana lainnya.
·         Peraturan Menteri
·         Instruksi Menteri

Hukum kesehatan merupakan suatu bidang spesialisasi ilmu hukum yang relative masih baru di Indonesia. Hukum kesehatan mencakup segala peraturan dan aturan yang secara langsung berkaitan dengan pemeliharaan dan perawatan kesehatan yang terancam atau kesehatan yang rusak. Hukum kesehatan mencakup penerapan hokum perdata dan hukum pidana yang berkaitan dengan hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan.
Pada masa kini dapat disepakati luas ruang lingkup peraturan hukum untuk kegiatan pelayanan kesehatan menurut ilmu kedokteran mencakup aspek-aspek di bidang pidana, hukum perdata, hukum administrasi, bahkan sudah memasuki aspek hukum tatanegara. Persyaratan pendidikan keahlian, menjalankan pekerjaan profesi, tatacara membuka praktek pengobatan, dan berbagai pembatasan serta pengawasan profesi dokter masuk dalam bagian hukum administrasi. Hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan pelayanan kesehatan, persetujuan antara dokter dan pasien serta keluarganya, akibat kelalaian perdata serta tuntutannya dalam pelayanan kesehatan masuk bagian hukum perdata. Kesaksian, kebenaran isi surat keterangan kesehatan, menyimpan rahasia, pengguguran kandungan, resep obat keras atau narkotika, pertolongan orang sakit yang berakibat bahaya maut atau luka-luka masuk bagian hukum pidana. Dalam negara hukum yang sudah meningkat kearah negara kesejahteraan menjadi kewajiban negara dengan alat perlengkapannya untuk mewujudkan keadaan bagi kehidupan setiap orang, keluarga dan masyarakat memperoleh kesejahteraan (well being) menurut penjelasan pasal 1-6 Undang-Undang no. 9/ 1960 berarti melibatkan tenaga kesehatan atau dokter turut secara aktif dalam semua usaha kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah.

Usaha kesehatan pemerintah yang melibatkan tenaga kesehatan selaku aparat negara yang berwenang merupakan pengembangan aspek hukum tatanegara didalam hukum kedokteran kesehatan. Semua aspek hukum dalam peraturan hukum kedokteran kesehatan menjadi perangkat hukum yang secara khusus menentukan perilaku keteraturan atau perintah keharusan atau larangan perbuatan sesuatu itu berlaku bagi para pihak yang berkaitan dengan usaha kesehatan sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangan. Disamping norma-norma hukum yang terdapat didalam hukum kedokteran kesehatan, berlaku juga norma etik kesehatan / norma etik kedokteran sebagai petunjuk tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk dalam kehidupan yang susila sehari-hari. Tugas pekerjaan yang dilaksanakan secara profesional memerlukan dukungan yang ditaati berdasarkan kekuasaan moral dan salah satu diantaranya tercantum dalam rumusan kode etik kedokteran maupun kode etik tenaga kesehatan yang lainnya.

Sebagaimana norma etika sukarela ditaati berdasarkan keluhuran sikap / tanggung jawab moral dari setiap orang yang menjalankan pekerjaan profesi, akan tetapi sebagian yang lain harus dikuatkan menjadi tatanan sosial (bukan peraturan hukum) yang dirumuskan secara tertulis, baik mengenai kewajiban moril / akhlak dalam kode etik profesi maupun mengenai kewajiban lain yang berhubungan dengan tugas pekerjaan profesi dalam hukum disipliner. Sanksi berupa celaan / teguran dan atau tindakan tata tertib / administratif diserahkan kepada kebijaksanaan badan organisasi profesi yang bertindak bukan sebagai badan peradilan.

Hukum Kesehatan sangat penting bagi para dokter sebagai tenaga profesional dalam pelayanan kesehatan sebab ia harus mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajiban apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukannya, agar dapat bekerja sebaik-baiknya itu sebabnya hukum kesehatan dulu lebih dikenal dengan sebutan “Medical Law” sedangkan untuk bangsa Indonesia kini telah terbagi antara Hukum Kesehatan yang dikenal dengan “Health Law” dan Hukum Kedokteran dikenal dengan ”Medical Law”.

Definisi Hukum Kesehatan dan Hukum Kedokteran menurut Pasal 1 Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (Perhuki) adalah :
“Yang dimaksud dengan hukum kesehatan adalah ketentuan hukum yang berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan/pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban baik dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek organisasi, sarana pedoman-pedoman medis nasional/ internasional, hukum dibidang kesehatan, yurisprudensi serta ilmu pengetahuan dibidang kedokteran/kesehatan, sedangkan Hukum Kedokteran ialah bagian dari Hukum Kesehatan yang menyangkut dengan pelayanan medis.

Sedangkan menurut rumusan Tim Pengkajian hukum Kedokteran Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), adalah sebagai berikut :
“Hukum Kesehatan adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban, baik dari tenaga kesehatan dalam melaksanakan upaya kesehatan maupun dari individu dan masyarakat yang menerima upaya kesehatan itu dalam segala aspeknya yaitu : aspek promotif, prefentif, kuratif, rehabilitatif dan diperhatikan pula aspek organisasi dan sarana. Pedoman-pedoman medis internasional, hukum kebiasaan dan hukum otonom dibidang kesehatan, ilmu pengetahuan dan literatur medis merupakan pula sumber hukum kesehatan”
Memperoleh pelayanan kesehatan adalah hak asasi setiap manusia. Pemerintah menyadari rakyat yang sehat merupakan aset dan tujuan utama dalam mencapai masyarakat adil makmur. Penyelenggaraan upaya kesehatan dilakukan secara serasi dan seimbang oleh pemerintah dan masyarakat termasuk swasta. Agar penyelenggaraan upaya kesehatan itu berhasil guna dan berdaya guna, maka pemerintah perlu mengatur, membina dan mengawasi baik upayanya maupun sumber dayanya.
Mula-mula profesi dokter dianggap sebagai suatu profesi yang sangat disanjung-sanjung karena kemampuannya untuk mengetahui hal-hal yang tidak tampak dari luar. Bahkan seorang dokter dianggap sebagai rohaniawan yang dapat menyembuhkan pasien dengan doa-doa1.
Dewasa ini dokter lebih dipandang sebagai ilmuwan yang pengetahuannya sangat diperlukan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Kedudukan dan peran dokter tetap dihormati, tetapi tidak lagi disertai unsur pemujaan. Dari dokter dituntut suatu kecakapan ilmiah tanpa melupakan segi seni dan artistiknya.
            Kesenjangan yang besar antara harapan pasien dengan kenyataan yang diperolehnya menyusul dilakukannya merupakan predisposing faktor. Kebanyakan orang kurang dapat memahami bahwa sebenarnya masih banyak faktor lain di luar kekuasaan dokter yang dapat mempengaruhi hasil upaya medis, seperti misalnya stadium penyakit, kondisi fisik, daya tahan tubuh, kualitas obat dan juga kepatuhan pasien untuk mentaati nasehat dokter. Faktor-faktor tadi dapat mengakibatkan upaya medis (yang terbaik sekalipun) menjadi tidak berarti apa-apa. Oleh sebab itu, tidaklah salah jika kemudian dikatakan bahwa hasil suatu upaya medis penuh dengan uncertainty dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik.














PEMBAHASAN

A.        Kedudukan Antara Dokter Dengan Pasien
1.         Pola Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien telah terjadi sejak dahulu (jaman Yunani kuno), dokter sebagai seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang membutuhkannya. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter yang disebut dengan transaksi terapeutik. Hubungan yang sangat pribadi itu oleh Wilson digambarkan seperti halnya hubungan antara pendeta dengan jemaah yang sedang mengutarakan perasaannya. Pengakuan pribadi itu sangat penting bagi eksplorasi diri, membutuhkan kondisi yang terlindung dalam ruang konsultasi.
Ditinjau dari aspek sosiologis, hubungan hukum dokter dan pasien dewasa ini mengalami perubahan, semula kedudukan pasien dianggap tidak sederajat dengan dokter, karena dokter dianggap paling tahu terhadap pasiennya, dalam hal ini kedudukan pasien sangat pasif, sangat tergantung kepada dokter. Namun dalam perkembangannya hubungan antara dokter dan pasien telah mengalami perubahan pola, di mana pasien dianggap sederajat kedudukannya dengan dokter. Segala tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasiennya harus mendapat persetujuan dari pasien, setelah sang pasien mendapatkan penjelasan yang cukup memadai tentang segala seluk beluk penyakit dan upaya tindakan mediknya.
Hubungan hukum timbul bila pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa ia merasa sakit, dan dalam hal ini dokterlah yang dianggapnya mampu menolongnya, dan memberikan bantuan pertolongan. Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien, dan peranannya lebih penting daripada pasien.
Sebaliknya, dokter berdasarkan prinsip “father knows best” dalam hubungan paternatistik ini akan mengupayakan untuk bertindak sebagai ‘bapak yang baik’, yang secara cermat, hati-hati untuk menyembuhkan pasien. Dalam mengupayakan kesembuhan pasien ini, dokter dibekali oleh Lafal Sumpah dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Pola hubungan vertikal yang melahirkan sifat paternalistik dokter terhadap pasien ini mengandung baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif pola vertikal yang melahirkan konsep hubungan paternalistik ini sangat membantu pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya dapat juga timbul dampak negatif, apabila tindakan dokter yang berupa langkah-langkah dalam mengupayakan penyembuhan pasien itu merupakan tindakan-tindakan dokter yang membatasi otonomi pasien, yang dalam sejarah perkembangan budaya dan hak-hak dasar manusia telah ada sejak lahirnya. Pola hubungan yang vertikal paternalistik ini bergeser pada pola horizontal kontraktual.
Hubungan ini melahirkan aspek hukum horisontal kontraktual yang bersifat “inspanningsverbintenis6 yang merupakan hubungan hukum antara 2 (dua) subyek hukum (pasien dan dokter) yang berkedudukan sederajat melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau kematian), karena obyek dari hubungan hukum itu berupa upaya dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien. 
2.         Saat Terjadinya Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien
Hubungan hukum kontraktual yang terjadi antara pasien dan dokter tidak dimulai dari saat pasien memasuki tempat praktek dokter sebagaimana yang diduga banyak orang7, tetapi justru sejak dokter menyatakan kesediaannya yang dinyatakan secara lisan (oral statement) atau yang tersirat (implied statement) dengan menunjukkan sikap atau tindakan yang menyimpulkan kesediaan; seperti misalnya menerima pendaftaran, memberikan nomor urut, menyediakan serta mencatat rekam medisnya dan sebagainya. Dengan kata lain hubungan terapeutik juga memerlukan kesediaan dokter. Hal ini sesuai dengan asas konsensual dan berkontrak. 
3.         Sahnya Transaksi Terapeutik
Mengenai syarat sahnya transaksi terapeutik didasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat sebagai berikut8 :
a.     Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van degene die zich verbinden)
Secara yuridis, yang dimaksud adanya kesepakatan adalah tidak adanya kekhilafan, atau paksaan, atau penipuan (Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Saat terjadinya perjanjian bila dikaitkan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan saat terjadinya kesepakatan antara dokter dengan pasien yaitu pada saat pasien menyatakan keluhannya dan ditanggapi oleh dokter. Di sini antara pasien dengan dokter saling mengikatkan diri pada suatu perjanjian terapeutik yang obyeknya adalah upaya penyembuhan. Bila kesembuhan adalah tujuan utama maka akan mempersulit dokter karena tingkat keparahan penyakit maupun daya tahan tubuh terhadap obat setiap pasien adalah tidak sama. Obat yang sama tidak pasti dapat hasil yang sama pada masing-masing penderita.
b.     Kecakapan untuk membuat perikatan (bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan)
Secara yuridis, yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri, karena tidak dilarang oleh undang-undang. Hal ini didasarkan Pasal 1329 dan 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Menurut Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Kemudian, di dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan orang-orang yang dinyatakan tidak cakap yaitu orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang dibuat perjanjian tertentu
Di dalam transaksi terapeutik, pihak penerima pelayanan medis, terdiri dari orang dewasa yang cakap untuk bertindak, orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak, yang memerlukan persetujuan dari pengampunya, anak yang berada di bawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tuanya atau walinya.
c.         Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp)

Kedua belah pihak harus mengetahui secara pasti dan jelas apa yang diperjanjikan serta tujuan perjanjian itu. Dalam hubungan dokter-pasien, objeknya adalah suatu usaha penyembuhan oleh dokter terhadap pasiennya , bukanlah sembuh atau tidaknya pasien.

d.         Suatu sebab yang halal (geoorloofde oorzaak)

Suatu sebab yang halal yaitu suatu sebab yang diizinkan atau lazim, tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, ketertiban umum atau masyarakat. Pasal 1335 KUHPerdata menyebutkan “suatu perjanjian tanpa sebab atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau sebab yang tidak diizinkan, apabila dilarang oleh undang-undang, atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”


4.         Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent )
Persetujuan atas dasar informasi atau dikenal dengan istilah Informed Consent pada hakikatnya merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri berfungsi didalam praktik dokter.

Penentuan nasib sendiri adalah nilai, sasaran dalam informed consent, dan inti sari permasalahan informed consent adalah alat. Secara konkrit persyaratan informed consent adalah untuk setiap tindakan baik yang bersifat diagnostic maupun terapeutik, pada asanya senantiasa diperoleh persetujuan pasien yang bersangkutan.34Didalam Pasal 2 Peraturan Mentri Kesehatan No.585/Men.Kes/Per/IX/1989 dinyatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan dimaksud diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentanng perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risiko yang dapat ditimbulkannya.

Persetujuan tindakan medis bisa dibicarakan dari dua sudut, pertama membicarakan persetujuan tindakan medis dari dari pengertian umum dan kedua membicarakan persetujuan tindakan medis dari pengertian khusus. Dalam pelayanan kesehatan sering pengeertian kedua lebih dikenal yaitu persetujuan tindakan medis yang dikaitkan dengan persetujuan atau izin yang didapat dari pasien atau lebih sering dari keluarga pasien untuk melakukan tindakan opertaif atau tindakan invasive yang biasanya mempunyai risiko. Oleh karena itu dulu persetujuan tindakan medis jenis ini sering disebut surat izin operasi, surat persetujuan pasien, surat perjanjian dan lain-lain istilah yang dirasa sesuai oleh Rumah Sakit atau Dokter yang merancang surat persetujuan atau surat izin operasi ini.

Dari pandangan dokter atau rumah sakit tujuan dari surat ini adalah agar pasien atau keluarga pasien mengetahui bahwa operasi dan tindakan medis ini harus ditempuh dan dokter telah diberi izin untuk melakukan tindakan tersebut. Jika pasien sudah mengerti sepenuhnya dan memberikan persetujuan (izinnya) maka barulah dokter spesialis itu boleh melaksanakan tindakannya. Demikian pula tindaka medis lain yang mengandung risiko, misalnya aortografi. Sebagai lanjutan kepada pasien akan dimintakan untuk menandatangani suatu formulir sebagai tanda bukti persetujuannya.

Harus diadakan perbedaan antara:
·         Persetujuan atau izin pasien yang diberikan secara lisan pada saat dokter dan pasien berdialog dan memperoleh kesepakatan.
·         Penandatanganan formulir tersebut oleh pasien (yang sebenarnya merupakan pelaksanaan kelanjutan dari apa yang sudah disepakati bersama dan sudah diperoleh pada waktu dokter memberikan penjelasannya.

Oleh karena itu sebelum pasien memberikan persetujuannya diperlukan beberapa masukan sebagai berikut:
·         Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan) yang diusulkan oleh dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan),
·         Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tak dinginkan yang mungkin timbul,
·         Diskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh pasien,
·         Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung,
·         Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya.
·         Prognosis mengenai kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis tertentu (percobaan) tersebut.

Pernyataan tanda setuju secara tertulis dengan penandatanganan formulir hanya untuk memudahkan pembuktian jika pasien kelak menyangkal telah memberikan persetujuannya. Dengan sudah ditandatanganinya formulir tersebut maka jika pasien menyangkal, pasien harus membukikan bahwa ia tidak diberikan informasi. Namun jika hanya ditandatangani saja oleh pasien tanpa diberikan informasi yang jelas terlebih dahulu oleh dokternya, maka secarik kertas itu secara yuridis tidak merupakan bukti kuat bagi sang dokter. Karena pasien dianggap belum “informed” sehingga belum terdapat suatu kesepakatan dalam arti yang sebenarnya. Dengan perkataan lain belum ada “consent” yang “informed” dari pasien sebagai mana sudah diatur didalam PerMenKes No. 585 tersebut

“Hubungan pasien dengan dokter adalah suatu Perikatan Berusaha (Inspannings-verbintenia) yaitu dimana dalam melaksanakan tugasnya dokter berusaha untuk mnyembuhkan atau memulihkan kesehatan pasien. Dalam memberikan jasa ini dokter tidak boleh dan tidak mungkin dapat memberikan jaminan/garansi kepada pasiennya. Dan dokter juga tidak dapat dipersalahkan begitu saja apabila hasil usahanya itu tidak sesuai dengan yang diharapkan, sepanjang dalam melakukannya dokter telah mematuhi standart profesi dan menghormati hak-hak pasien.”

“Pasien umumnya hanya dapat menerima saja segala sesuatu yang dikatakan dokter tanpa dapat bertanya apapun. Dengan kata lain, semua keputusan sepenuhnya berada ditangan dokter. Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hak-haknya, maka pola hubungan demikian ini juga mengalami perubahan yang sangat berarti. Pada saat ini secara hukum dokter adalah partner dari pasien yang sama atau sederajat kedudukannya, pasien mempunyai hak dan kewajiban teertentu seperti halnya dokter.”

B. Tanggung Jawab Hukum Dokter Terhadap Pasien
Dokter sebagai tenaga professional bertanggung jawab dalam setiap tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien. Dalam menjalankan tugas profesionalnya didasarkan pada niat baik yaitu berupaya dengan sungguh-sungguh berdasarkan pengetahuannya yang dilandasi dengan sumpah dokter, kode etik kedokteran dan standar profesinya untuk menyembuhkan atau menolong pasien. Antara lain adalah:
1.  Tanggung Jawab Etis
Peraturan yang mengatur tanggung jawab etis dari seorang dokter adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Lafal Sumpah Dokter. Kode etik adalah pedoman perilaku. Kode Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan no. 434 / Men.Kes/SK/X/1983.
Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dengan mempertimbangkan International Code of Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan landasan strukturil Undang-undang Dasar 1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur hubungan antar manusia yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.54Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus pelanggaran hukum. Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum, sebaliknya pelanggaran hukum tidak selalu merupakan pelanggaran etik kedokteran.
Berikut diajukan beberapa contoh :
a)    Pelanggaran etik murni
·      Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter dan dokter gigi.
·       Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya.
·      Memuji diri sendiri di depan pasien.
·      Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran yang berkesinambungan.
·      Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.
b)    Pelanggaran etikolegal
·      Pelayanan dokter di bawah standar.
·      Menerbitkan surat keterangan palsu.
·      Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter.
·      Abortus provokatus.





2.  Tanggung Jawab Profesi
Tanggung jawab profesi dokter berkaitan erat dengan profesionalisme seorang dokter. Hal ini terkait dengan:
·         Pendidikan, pengalaman dan kualifikasi lain
Dalam menjalankan tugas profesinya seorang dokter harus mempunyai derajat pendidikan yang sesuai dengan bidang keahlian yang ditekuninya. Dengan dasar ilmu yang diperoleh semasa pendidikan di fakultas kedokteran maupun spesialisasi dan pengalamannya untuk menolong penderita
·         Derajat risiko perawatan
Derajat risiko perawatan diusahakan untuk sekecil-kecilnya, sehingga efek samping dari pengobatan diusahakan seminimal mungkin. Di samping itu mengenai derajat risiko perawatan harus diberitahukan terhadap penderita maupun keluarganya, sehingga pasien dapat memilih alternatif dari perawatan yang diberitahukan oleh dokter tetapi informasi mengenai derajat perawatan timbul kendala terhadap pasien

dokter juga mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu sebagai berikut:
1.    kewajiban untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi, yaitu dengan cara melakukan tindakan medis dalam suatu kasus yang konkret menurut ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu medis dan pengalaman.
2.    Kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien, antara lain rahasia atas kesehatan pasien bahkan setelah pasien meninggal dunia.
3.    Kewajiban untuk memberikan informasi pada pasien dan/atau keluarganya tentang tindakan medis yang dilakukannya dan risiko yang mungkin terjadi akibat tindakan medis tersebut.
4.    Kewajiban merujuk pasien untuk berobat ke dokter lain yang mempunyai keahlian/kemampuan yang lebih baik
5.    Kewajiban untuk memberikan pertolongan dalam keadaan darurat sebagai tugas perikemanusiaan.
C.        Kedudukan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan
Pasien adalah orang yang ingin mendapat pelayanan kesehatan hal ini memerlukan batasan khusus antara lain dimana setiap orang menginginkan dirinya sehat. Dalam hubungan antara dokter dan pasien maka hukum kesehatan individu (medical law) atau Hukum Kedokteran dapat dibatasi pada hukum yang mengatur antara dokter dan pasien, yang disebabkan karena adanya hubungan dengan pihak lain, baik itu pasien maupun tenaga kesehatan yang lain. Batasan ruang lingkup rumusan pengertian hukum kesehatan ini perlu ditetapkan oleh sekelompok orang yang mempunyai keahlian dalam bidangnya itu karena akan berbeda jika digunakan istilah (terminologi) hukum kesehatan hal mana akan berkaitan dengan sistem kesehatan suatu masyarakat atau negara.
Hal ini telah dijelaskan pada bagian awal dimana untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat maka perlu adanya pengaturan tentang pelayanan kesehatan dan demi menjamin hak dari pada setiap orang yaitu hak untuk hidup yang merupakan salah satu hak asasi. Pergeseran dimensi bekerjanya hak asasi manusia tersebut dalam masyarakat banyak atau sedikit memberi warna terhadap perkembangan hukum kedokteran yang semula bertumpu pada hak asasi individual, ini memacu pada perkembangan kearah titik berat kewajiban asasinya yang merupakan perwujudan dari dimensi sosialnya.
Berbicara mengenai hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan, secara umum hak pasien tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
·         Hak pasien atas perawatan
·         Hak untuk menolak cara perawatan tertentU
·         Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan merawat pasien
·         Hak Informasi
·         Hak untuk menolak perawatan tanpa izin
·         Hak atas rasa aman
·         Hak atas pembatasan terhadap pengaturan kebebasan perawatan
·         Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan
·         Hak atas twenty-for-a-day-visitor-rights
·         Hak pasien menggugat atau menuntut
·         Hak pasien mengenai bantuan hokum
·         Hak pasien untuk menasihatkan mengenai percobaan oleh tenaga kesehatan atau ahlinya.

Berbarengan dengan hak tersebut pasien juga mempunyai kewajiban, baik kewajiban secara moral maupun secara yuridis. Secara moral pasien berkewajiban memelihara kesehatannya dan menjalankan aturan-aturan perawatan sesuai dengan nasihat dokter yang merawatnya. Beberapa kewajiban pasien yang harus dipenuhinya dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:
2.     Kewajiban memberikan informasi medis
3.     Kewajiban melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatan
4.     Kewajiban memenuhi aturan-aturan pada kesehatan
5.     Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungannya dengan dokter atau tenaga kesehatan
6.     Kewajiban memberikan imbalan jasa
7.     Menyimpan rahasia pribadi dokter yang diketahuinya

Berdasarkan pada perjanjian terapeutik yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak, dokter juga mempunyai hak dan kewajiban sebagai pengemban profesi. Hak-hak dokter sebagai pengemban profesi dapat dirumuskan sebagai berikut:
·         Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-jujurnya dari pasien yang akan digunakannya bagi kepentingan diagnosis maupun terapeutik.
·         Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanan yang diberikannya kepada pasien.
·         Hak atas itikad baik dari pasien atau keluarganya dalam melaksanakan transaksi terapeutik.
·         Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas pelayanan kesehatan yang diberikannya.
·         Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medic dari pasien atau keluarganya.

C.        Hubungan Hukum Dokter & Pasien
Hubungan antara dokter & pasien selain hubungan medik, terbentuk pula hubungan hukum. Pada hubungan medik, hubungan dokter & pasien adalah hubungan yang tidak seimbang, dalam arti pasien adalah orang sakit & dokter adalah orang sehat; pasien adalah awam & dokter adalah pakar. Namun dalam hubungan hukum terdapat hubungan yang seimbang, yakni hak pasien menjadi kewajiban dokter & hak dokter menjadi kewajiban pasien & keduanya adalah subyek hukum pribadi. Dilihat dari jenis pekerjaan yang ada di dalam hubungan dokter & pasien, maka jelas terbentuk hubungan untuk melakukan pekerjaan (jasa) tertentu, yakni dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan & pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan.

Pekerjaan dokter dapat dikatakan sebagai profesi, sebab dilakukan berdasarkan pendidikan formal di pendidikan tinggi kedokteran & dokter sebagai professional mempunyai kewenangan profesional dalam menjalankan profesinya. Selain itu terdapat etika profesi yang menjadi pedoman tingkah laku dokter dalam menjalankan profesinya sebagai dokter. Kata dokter bukanlah titel, sarjana kedokteran adalah titel, sama dengan yuris adalah kata untuk profesi dari sarjana hukum.

Hubungan hukum antara dokter & pasien dapat terbentuk perikatan yang lahir karena perjanjian & dapat pula terbentuk perikatan yang lahir karena UU. Contoh hubungan hukum dokter & pasien yang lahir karena perjanjian, adalah apabila pasien datang ke tempat praktik dokter, yang melakukan penawaran jasa pelayanan kesehatan dengan memesang papan nama, dalam arti pasien menerima penawaran dari dokter, maka terbentuklah perikatan yang lahir karena perjanjian. Perikatan antara dokter & pasien yang lahir karena UU, apabila dokter secara sukarela membantu orang yang menderita karena kecelakaan, di mana dokter sebagai misal, sedang lewat di tempat kecelakaan, tanpa ada perintah atau permintaan dari siapa pun, dokter menyelenggarakan kepentingan yang menderita kecelakaan, maka dokter mempunyai kewajiban untuk sampai menyelesaikan pekerjaan sampai orang yang celaka atau keluarganya, dapat mengurusnya.

Dituliskan sebelumnya, doktrin ilmu hukum mengatakan ada dua macam perikatan, yaitu perikatan hasil di mana prestasinya berupa hasil tertentu & perikatan ikhtiar di mana prestasinya berupa upaya semaksimal mungkin. Perikatan antara dokter dengan pasien hampir seluruhnya berupa perikatan ikhtiar, di mana dokter berupaya semaksimal mungkin untuk mengobati penyakit yang diderita oleh pasien.
Apabila dokter telah berupaya semaksimal mungkin & pasien tidak sembuh juga, maka dokter telah cukup bekerja dengan baik, karena perikatannya berupa ikhtiar. Dengan perkataan lain, pasien tidak dapat menuntut dokter untuk menyembuhkan penyakitnya, dokter harus berupaya semaksimal mungkin untuk mengobati pasien.
Sepakat mereka yang mengikatkan diri sebagai adalah syarat pertama bagi sahnya perjanjian, seringkali diartikan bahwa sepakat ini harus dinyatakan dengan tegas, namun ada sepakat yang dinyatakan dengan diam-diam, dalam arti apabila pasien tidak menolak, maka telah terjadi sepakat yang dinyatakan dengan diam-diam. Dengan perkataan lain, kalau pasien menolak pelayanan kesehatan harus dinyatakan dengan tegas.

Sehubungan dengan sahnya perjanjian antara dokter & pasien, terdapat hal yang menarik & seringkali terjadi, bahwa syarat “kecakapan untuk membuat suatu perikatan” di dalam Pasal 1320 KUHPer mensyaratkan cakap berdasarkan hukum, yaitu usia dewasa, dalam arti menurut KUHpdt adalah 21 tahun & menurut UU no. 1/1974 tentang Perkawinan adalah 18 tahun.

Apabila seorang anak belum dewasa, datang sendirian ke tempat praktik dokter & membutuhkan jasa pelayanan kesehatan, apakah dokter dapat menolaknya dengan alasan belum dewasa? Padahal dokter tidak boleh menolak permintaan bantuan jasa pelayanan kesehatan dari siapa pun juga. Tentunya dokter tidak dapat menolak, terlebih dalam keadaan darurat, ketentuan ini dapat diabaikan, namun untuk tindakan invasif, sebaiknya diupayakan agar ada wali yang mendampingi anak. Perlu diketahui bahwa di beberapa negara telah memberikan hak kepada anak berumur 14 tahun untuk mandiri dalam bidang pelayanan kesehatan.

Mengenai syarat yang ketiga, suatu hal tertentu, pelayanan kesehatan yang menjadi obyek perjanjian (suatu hal tertentu), adalah pelayanan kesehatan untuk mengobati pasien yang harus dapat dicapai, kalau pengobatan itu tidak dapat/tidak mungin dilaksanakan, maka obyeknya perikatan menjadi tidak tertentu.
Syarat yang terakhir, mengenai suatu sebab (kausa) yang halal, dimaksudkan bahwa diselenggarakannya pelayanan kesehatan yang menjadi tujuan dari pelayanan kesehatan itu sendiri, harus diperbolehkan oleh hukum, ketertiban & kesusilaan. Contoh pelayanan kesehatan yang melanggar hukum adalah tindakan pengguguran kandungan tanpa alasan medik, yang dikenal sebagai pengguguran kandungan buatan yang kriminalis.

Kemudian pembahasan mengenai akibat hukum perjanjian yang sah, diatur di dalam Pasal 1338 KUHPer. Namun dalam pelayanan kesehatan mengalami penyimpangan, sebab perjanjian pelayanan kesehatan antara dokter & pasien yang telah dibuat secara sah, yang berlaku sebagai UU bagi para pihak, dapat diputuskan tanpa sepakat pihak yang lainnya oleh pasien, karena pasien kapan saja dapat memutuskan perjanjian tanpa alasan apa pun juga. Dokter tidak dapat memaksakan kehendak kepada pasien, pasien mempunyai hak untuk menentukan diri sendiri (the right of self determination), yang merupakan hak asasi pasien. Dokter hanya dapat memberikan informasi kepada pasien & harus meminta persetujuan untuk diteruskan pelayanan kesehatan. Pemberian persetujuan atau penolakan persetujuan pelayanan kesehatan adalah sepenuhnya hak dari pasien. Meski pun dokter tahu bahwa dengan diputuskannya perjanjian pelayanan kesehatan, dapat menyebabkan pasien meninggal dunia, dokter tidak berhak memaksakan pelayanan kesehatan.


D.        Hukum dan Etik Dalam Pelayana Kesehatan
Seorang dokter dalam menjalankan tugasnya mempunyai alasan yang mulia, yaitu berusaha untuk menyehatkan tubuh pasien, atau setidak-tidaknya berbuat untuk mengurangi penderitaan pasien. Oleh karenanya dengan alasan yang demikian wajarlah apabila apa yang dilakukan oleh dokter itu layak untuk mendapatkan perlindungan hukum sampai batas-batas tertentu. Sampai batas mana perbuatan dokter itu dapat dilindungi oleh hukum, inilah yang menjadi permasalahan. Mengetahui batas tindakan yang diperbolehkan menurut hukum, merupakan hal yang sangat penting, baik bagi dokter itu sendiri maupun bagi pasien dan para aparat penegak hukum.
Jika seorang dokter tidak mengetahui tentang batas tindakan yang diperbolehkan oleh hukum dan menjalankan tugas perawatannya, sudah barang tentu dia akan ragu-ragu dalam melakukan tugas tersebut, terutama untuk memberikan diagnosis dan terapi terhadap penyakit yang diderita oleh pasien. Keraguan bertindak seperti itu tidak akan menghasilkan suatu penyelesaian yang baik, atau setidak-tidaknya tidak akan memperoleh penemuan baru dalam ilmu pengobatan atau pelayanan kesehatan. Bahkan bisa saja terjadi suatu tindakan yang dapat merugikan pasien. Demikian juga bagi aparat penegak hukum yang menerima pengaduan, sudah selayaknya mereka terlebih dahulu harus mempunyai pandangan atau pengetahuan yang cukup mengenai hukum kesehatan, agar dapat menentukan apakah perbuatannya itu melanggar etika atau melanggar hukum.
Disadari sepenuhnya bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh seorang dokter kepada pasien tidak selamanya berhasil dengan baik. Adakalanya usaha tersebut mengalami kegagalan. Faktor penyebab kegagalan ini banyak macamnya, mungkin karena kurangnya pehaman dokter yang bersangkutan terhadap penyakit yang diderita oleh pasien, atau karena minimnya peralatan yang digunakan untuk melakukan diagnosis dan terapi. Namun tidak jarang terjadinya kegagalan itu bersumber dari faktor manusianya sendiri, yakni karena adanya kesalahan daro dokter dalam mengadakan diagnosis dan terapi. Hal yang terakhir ini membuat masyarakat awam beranggapan bahwa dokter telah gagal atau dianggap gagal dalam melaksanakan tugas perawatannya.
Memang dalam kenyataannya, seorang dokter dapat saja salah atau khilaf atau lalai dalam menjalankan tugasnya. Akan tetapi karena profesi dokter merupakan jabatan yang khusus, maka terdapat pula persyaratan yang khusus untuk mempermasalahkan tindakan dokter. Persyaratan-persyaratan tersebut dapat ditinjau dari segi ilmu kesehatan atau dari segi hukum. Tentang mengapa harus dilakukan peninjauan dari sudut hukum, alasannya karena semenjak zaman dahulu hukum telah membebani seorang dokter dengan syarat-syarat yang cukup berat dalam menjalankan tugasnya, dengan demikian terlihat betapa eratnya kaitan hukum dengan profesi dokter dalam pelayanan kesehatan.
Pada dasawarsa terakhir ini, sering timbul reaksi defensif dari masyarakat terhadap perkembangan pelayanan kesehatan, reaksi itu dengan cepat membangkitkan kesadaran masyarakat tentang hak atas pelayanan kesehatan, persoalan ini menyebabkan aspek hukum antara dokter dengan pasien menjadi semakin penting. Perkembangan ini di satu pihak mengandung makna yang sangat positif karena memperlihatkan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hukum pada umumnya, dilain pihak perkembangan tersebut merupakan tantangan bagi profesi dokter dalam upayanya memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien yang terikat dalam hubungan transaksi terapeutik.
Hubungan kepercayaan antara dokter dengan pasien yang tadinya sudah cukup diatur dengan kaidah-kaidah moral, yakni melalui etika profesi atau kode etik, kini dengan perkembangan yang terjadi, mulai dirasakan perlunya pengaturan dengan kaidah-kaidah yang lebih memaksa secara normatif. Kepatuhan terhadap aturan ini tidak lagi sepenuhnya digantungkan pada kesadaran dan kemauan bebas dari kedua belah pihak, oleh karena itu pengaturan tersebut harus dituangkan melalui kaidah-kaidah hukum yang bersifat memaksa
Pada hakikatnya, sikap yang demikian itu muncul karena adanya keinginan atau usaha untuk mempertahankan hak dengan perlindungan hukum. Aspek hukum itu dimunculkan untuk melindungi kepentingan terhadap pemberian pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya. Dengan kata lain aspek hukum itu ditimbulkan oleh perkembangan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan. Dengan demikian, jika pasien atau keluarganya merasa kepentingannya dirugikan oleh dokter, mereka akan menempuh satu-satunya jalan yang masih terbuka baginya, yaitu upaya gugatan hukum.
Mengingat hakikat hubungan antara dokter dengan pasien yang diikat dalam transaksi terapeutik sebagaimana diuraikan diatas. Apabila dipandang dari sudut hukum, hubungan itu pada umumnya termasuk perikatan ikhtiar, oleh karena itu kewajiban hukum atau prestasi yang harus diwujudkan oleh dokter, adalah ikhtiar semaksimal mungkin dalam batas keahliannya untuk menyembuhkan pasien. Sepanjang ikhtiar yang dilakukan oleh dokter itu didasarkan pada keahlian dan pengetahuan yang dimilikinya, tindakan yang dilakukan oleh dokter itu merupakan tindakan yang sah. Wanprestasi atau ingkar janji baru terjadi apabila dokter tidak melaksanakan prestasi sesuai dengan apa yang disepakati, sedangkan perbuatan melanggar hukum terjadi jika terapi yang dilakukan oleh dokter menyimpang dari patokan atau standar yang ditentukan.
Masalahnya sekarang, adalah sangat sulit untuk menentukan kapan suatu tindakan medis memenuhi patokan atau standar pelayanan kesehatan. Pengaturan hukum seperti yang tercantum dalam KUHPerdata masih bersifat terlalu umum. Untuk itu diperlukan adanya suatu pengaturan yang isinya mengatur hubungan antara pasien dengan dokter.
Dalam kaitannya dengan hal ini Van der Mijn (1989) mengemukakan adanya sembilan alasan tentang perlunya pengaturan hukum yang mengatur hubungan antara pasien dengan dokter.

1.     Adanya kebutuhan pada keahlian keilmuan medis.
2.     Kualitas pelayanan kesehatan yang baik.
3.     Hasil guna.
4.     Pengendalian biaya.
5.     Ketertiban masyarakat.
6.     Perlindungan hukum pasien.
7.     Perlindungan hukum pengemban profesi kesehatan.
8.     Perlindungan hukum pihak ketiga, dan
9.     Perlindungan hukum kepentingan hukum.
Dari apa yang dikemukakan oleh Van der Mijn diatas, dapat dilihat bahwa hubungan antara pasien dengan dokter mempunyai aspek etis dan aspek yuridis. Artinya hubungan itu diatur oleh kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan demikian baik pasien maupun dokter mempunyai kewajiban dan tanggung jawab secara etis dan yuridis, sebagai konsekuensinya mereka juga bertanggung jawab dan bertanggung gugat secara hukum.
Dalam praktik, sehubungan dengan tanggung jawab atau tanggung gugat hukum ini, timbul masalah karena sulitnya menarik garis yang jelas untuk memisahkan antara etik dan yuridis dalam hubungan antara dokter dengan pasien, khususnya yang berkaitan dengan tindakan medis.
Kesulitan disini timbul karena etika merupakan suatu refleksi tentang perbuatan bertanggung jawab. Dalam etika dilakukan renungan yang mendasar tentang kapan sesuatu itu dikatakan bertanggung jawab. Artinya pelaku harus mampu menjawab dan menjelaskan mengapa ia melakukan perbuatan atau tindakan tertentu. Disamping itu etika sangat dipengaruhi oleh pandangan agama, pandangan hidup, kebudayaan, dan kekayaan yang hidup ditengah masyarakat, sehingga sangat sulit untuk menilainya.
Etika terikat dan dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang berlangsung dalam ruang dan waktu. Hal ini jelas terlihat sebagaimana dimuat dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 99a/Menkes/SK/III/1982 tentang Sistem Kesehatan Nasional, untuk selanjutnya hal hal ini dipertegas lagi dalam Penjelasan Umum UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa dalam banyak hal telah terjadi perubahan orientasi mengenai pemikiran dan pendekatan dalam pelayanan kesehatan. Itu sebabnya garis pemisah antara etika dan hukum tidak jelas, karena dari waktu ke waktu selalu bergerak mengikuti perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi ditengah masyarakat, seperti yang dikatakan Koeswadji (1992 : 124): ”Norma etika umum masyarakat dengan norma etika kesehatan-kedokteran saling mempengaruhi,, atau dengan lain perkataan, nilai dan pandangan hidup yang dicerminkan oleh etika profesi kesehatan-kedokteran dalam suatu masyarakat tertentu berlaku untuk suatu waktu tertentu”.
Dari apa yang dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa etika profesi merupakan sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam mengemban profesi. Hanya pengemban profesi itu sendiri yang dapat atau paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi sudah memenuhi tuntutan etika atau tidak. Ini berarti kepatuhan pada etika profesi sangat tergantung pada akhlak pengemban profesi yang bersangkutan. Disamping itu, sikap dan tata nilai profesional merupakan ciri dan pengakuan masyarakat terhadap eksistensi profesi dalam pembangunan tatanan kehidupan masyarakat, sehingga tata nilai profesi ini bersangkut-paut dan terikat erat dengan nilai humanisme atau kemanusiaan.
Hal ini terlihat pada salah satu ciri dari profesi dokter yakni nilai kemanusiaan. Naluri seorang dokter akan terpanggil tidak hanya terbatas pada upayanya bagaimana ia dapat memberi pelayanan langsung terhadap penderita dalam membantu memecahkan masalah kesehatan, tetapi juga seorang dokter berupaya mengembangkan nilai-nilai profesionalismenya melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan untuk kepentingan kemanusiaan.






                                                                                              
E.        KedudukanTenaga Analis Kesehatan
              Standar Profesi Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan Indonesia adalah suatu standar bagi profesi ahli teknologi laboratorium kesehatan di Indonesia dalam menjalankan tugas profesinya untuk berperan secara aktif terarah dan terpadu bagi pembangunan nasional Indonesia.
              Standar Profesi Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan Indonesia mencakup standar kompetensi kerja yang harus dimiliki dan kode etik yang harus dilaksanakan oleh ahli teknologi laboratorium kesehatan Indonesia dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai tenaga kesehatan. Kualifikasi pendidikan untuk Profesi Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan Indonesia adalah lulusan Sekolah Menengah Analis Kesehatan (SMAK) atau Akademi Analis Kesehatan (AAK) atau Akademi Analis Medis (AAM), atau Pendidikan Ahli Madya Analis Kesehatan (PAM-AK) atau lulusan Pendidikan Tinggi yang berkaitan langsung dengan laboratorium kesehatan.

Tugas pokok yaitu melaksanakan pelayanan laboratorium kesehatan meliputi bidang Hematologi, Kimia Klinik, Mikrobiologi, Imunologi-serologi,Toksikologi, Kimia Lingkungan, Patologi Anatomi (Histopatologi, Sitopatologi, Histokimia, Imunopatologi, Patologi Molekuler), Biologi dan Fisika. fungsi/kewajiban:
·         Mengembangkan prosedur untuk mengambil dan memproses specimen
·         Melaksanakan uji analitik terhadap reagen dan specimen.
·         Mengoperasikan dan memelihara peralatan/instrumen laboratorium.
·         Mengevaluasi data laboratorium untuk memastikan akurasi dan prosedur pengendalian mutu dan mengembangkan pemecahan masalah yang berkaitan dengan data hasil uji.
·         Mengevaluasi teknik, instrument, dan prosedur baru untuk menentukan manfaat kepraktisannya.
·         Membantu klinisi dalam pemanfaatan data laboratorium secara efektif dan efisien untuk menginterpretasikan hasil uji laboratorium.
·         Merencanakan, mengatur, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan laboratorium.
·         Membimbing dan membina tenaga kesehatan lain dalam bidang teknik kelaboratoriuman.
·         Merancang dan melaksanakan penelitian dalam bidang laboratorium kesehatan.

Kompetensi :
·         Menguasai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsinya di laboratorium Kesehatan.
·         Mampu merencanakan/merancang proses yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsinya di laboratorium kesehatan sesuai jenjangnya.
·         Memiliki keterampilan untuk melaksanakan proses teknis operasional pelayanan laboratorium, yaitu:
a. Keterampilan pengambilan specimen, termasuk penyiapan pasien (bila diperlukan), labeling, penanganan, pengawetan,fiksasi, pemrosesan, penyimpanan dan pengiriman specimen.
b. Keterampilan melaksanakan prosedur laboratorium, metode pengujian dan pemakaian alat dengan benar.
c. Keterampilan melakukan perawatan dan pemeliharaan alat, kalibrasi dan penanganan masalah yang erkaitan dengan uji yang dilakukan.
d. Keterampilan melaksanakan uji kualitas media dan reagen untuk pengujian specimen.
·         Mampu memberikan penilaian analitis terhadap hasil uji laboratorium.
·         Memiliki pengetahuan untuk melaksanakan kebijakan pengendalian mutu dan prosedur laboratorium.
·         Memiliki kewaspadaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi hasil uji laboratorium.

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger

Cari