Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan
(Kedudukan Pasien, Dokter, dan Analis Kesehatan)
OLEH
Rahmatul Munawwarah
12.901.019
A12
D-3 Analis Kesehatan
Universitas Indonesia Timur
Makassar
PENDAHULUAN
A.
Aspek Hukum
Pelayanan Kesehatan
Dewasa ini
dapat dilihat semua bidang kehidupan masyarakat sudah terjamah aspek hukum. Hal
ini disebabkan karena pada dasarnya manusia mempunyai hasrat untuk hidup
teratur. Akan tetapi keteraturan bagi seseorang belum tentu sama dengan
keteraturan bagi orang lain, oleh karena itu diperlukan kaidah kaidah yang
mengatur hubungan antar manusia melalui keserasian antara ketertiban dan
landasan hukum. Norma atau kaidah yang mengatur aspek pribadi terdiri dari
norma kepercayaan dan norma kesusilaan. Norma kepercayaan bertujuan agar
manusia hidup beriman, sedang norma kesusilaan bertujuan agar manusia hidup
berakhlak. Norma yang mengatur antar pribadi terdiri dari norma kesopanan dan
norma hukum. Suatu norma hukum biasanya dirumuskan dalam bentuk perilaku yang
dilarang dengan mendapat sanksi apabila larangan tersebut dilanggar. Norma
hukum ada yang tertulis dan ada pula yang tidak tertulis. Hukum tertulis
biasanya disamakan dengan peraturan perundangundangan. Secara hirarkis
peraturan perundang-undangan di Indonesia tersusun sebagai berikut:
1. Undang-Undang
Dasar 1945
2. Ketetapan MPR
3. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang- Undang.
4. Peraturan
Pemerintah
5. Keputusan
Presiden
6. Peraturan-peraturan
pelaksana lainnya.
·
Peraturan Menteri
·
Instruksi Menteri
Hukum
kesehatan merupakan suatu bidang spesialisasi ilmu hukum yang relative masih
baru di Indonesia. Hukum kesehatan mencakup segala peraturan dan aturan yang secara
langsung berkaitan dengan pemeliharaan dan perawatan kesehatan yang terancam
atau kesehatan yang rusak. Hukum kesehatan mencakup penerapan hokum perdata dan
hukum pidana yang berkaitan dengan hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan.
Pada masa
kini dapat disepakati luas ruang lingkup peraturan hukum untuk kegiatan
pelayanan kesehatan menurut ilmu kedokteran mencakup aspek-aspek di bidang
pidana, hukum perdata, hukum administrasi, bahkan sudah memasuki aspek hukum
tatanegara. Persyaratan pendidikan keahlian, menjalankan pekerjaan profesi,
tatacara membuka praktek pengobatan, dan berbagai pembatasan serta pengawasan profesi
dokter masuk dalam bagian hukum administrasi. Hak dan kewajiban yang timbul
dari hubungan pelayanan kesehatan, persetujuan antara dokter dan pasien serta
keluarganya, akibat kelalaian perdata serta tuntutannya dalam pelayanan
kesehatan masuk bagian hukum perdata. Kesaksian, kebenaran isi surat keterangan
kesehatan, menyimpan rahasia, pengguguran kandungan, resep obat keras atau
narkotika, pertolongan orang sakit yang berakibat bahaya maut atau luka-luka
masuk bagian hukum pidana. Dalam negara hukum yang sudah meningkat kearah
negara kesejahteraan menjadi kewajiban negara dengan alat perlengkapannya untuk
mewujudkan keadaan bagi kehidupan setiap orang, keluarga dan masyarakat
memperoleh kesejahteraan (well being) menurut penjelasan pasal 1-6 Undang-Undang
no. 9/ 1960 berarti melibatkan tenaga kesehatan atau dokter turut secara aktif
dalam semua usaha kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah.
Usaha
kesehatan pemerintah yang melibatkan tenaga kesehatan selaku aparat negara yang
berwenang merupakan pengembangan aspek hukum tatanegara didalam hukum
kedokteran kesehatan. Semua aspek hukum dalam peraturan hukum kedokteran
kesehatan menjadi perangkat hukum yang secara khusus menentukan perilaku
keteraturan atau perintah keharusan atau larangan perbuatan sesuatu itu berlaku
bagi para pihak yang berkaitan dengan usaha kesehatan sebagaimana ditentukan
dalam peraturan perundangan. Disamping norma-norma hukum yang terdapat didalam
hukum kedokteran kesehatan, berlaku juga norma etik kesehatan / norma etik kedokteran
sebagai petunjuk tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk dalam
kehidupan yang susila sehari-hari. Tugas pekerjaan yang dilaksanakan secara
profesional memerlukan dukungan yang ditaati berdasarkan kekuasaan moral dan
salah satu diantaranya tercantum dalam rumusan kode etik kedokteran maupun kode
etik tenaga kesehatan yang lainnya.
Sebagaimana
norma etika sukarela ditaati berdasarkan keluhuran sikap / tanggung jawab moral
dari setiap orang yang menjalankan pekerjaan profesi, akan tetapi sebagian yang
lain harus dikuatkan menjadi tatanan sosial (bukan peraturan hukum) yang
dirumuskan secara tertulis, baik mengenai kewajiban moril / akhlak dalam kode
etik profesi maupun mengenai kewajiban lain yang berhubungan dengan tugas
pekerjaan profesi dalam hukum disipliner. Sanksi berupa celaan / teguran dan
atau tindakan tata tertib / administratif diserahkan kepada kebijaksanaan badan
organisasi profesi yang bertindak bukan sebagai badan peradilan.
Hukum
Kesehatan sangat penting bagi para dokter sebagai tenaga profesional dalam
pelayanan kesehatan sebab ia harus mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajiban
apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukannya, agar dapat bekerja
sebaik-baiknya itu sebabnya hukum kesehatan dulu lebih dikenal dengan sebutan “Medical
Law” sedangkan untuk bangsa Indonesia kini telah terbagi antara Hukum
Kesehatan yang dikenal dengan “Health Law” dan Hukum Kedokteran dikenal
dengan ”Medical Law”.
Definisi Hukum Kesehatan dan Hukum
Kedokteran menurut Pasal 1 Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia
(Perhuki) adalah :
“Yang
dimaksud dengan hukum kesehatan adalah ketentuan hukum yang berhubungan dengan
pemeliharaan kesehatan/pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan
kewajiban baik dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima
pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam
segala aspek organisasi, sarana pedoman-pedoman medis nasional/ internasional,
hukum dibidang kesehatan, yurisprudensi serta ilmu pengetahuan dibidang
kedokteran/kesehatan, sedangkan Hukum Kedokteran ialah bagian dari Hukum
Kesehatan yang menyangkut dengan pelayanan medis.
Sedangkan menurut rumusan Tim
Pengkajian hukum Kedokteran Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), adalah
sebagai berikut :
“Hukum
Kesehatan adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang hak dan
kewajiban, baik dari tenaga kesehatan dalam melaksanakan upaya kesehatan maupun
dari individu dan masyarakat yang menerima upaya kesehatan itu dalam segala
aspeknya yaitu : aspek promotif, prefentif, kuratif, rehabilitatif dan
diperhatikan pula aspek organisasi dan sarana. Pedoman-pedoman medis
internasional, hukum kebiasaan dan hukum otonom dibidang kesehatan, ilmu
pengetahuan dan literatur medis merupakan pula sumber hukum kesehatan”
Memperoleh
pelayanan kesehatan adalah hak asasi setiap manusia. Pemerintah menyadari
rakyat yang sehat merupakan aset dan tujuan utama dalam mencapai masyarakat
adil makmur. Penyelenggaraan upaya kesehatan dilakukan secara serasi dan
seimbang oleh pemerintah dan masyarakat termasuk swasta. Agar penyelenggaraan
upaya kesehatan itu berhasil guna dan berdaya guna, maka pemerintah perlu
mengatur, membina dan mengawasi baik upayanya maupun sumber dayanya.
Mula-mula
profesi dokter dianggap sebagai suatu profesi yang sangat disanjung-sanjung
karena kemampuannya untuk mengetahui hal-hal yang tidak tampak dari luar.
Bahkan seorang dokter dianggap sebagai rohaniawan yang dapat menyembuhkan
pasien dengan doa-doa1.
Dewasa ini
dokter lebih dipandang sebagai ilmuwan yang pengetahuannya sangat diperlukan
untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Kedudukan dan peran dokter tetap
dihormati, tetapi tidak lagi disertai unsur pemujaan. Dari dokter dituntut
suatu kecakapan ilmiah tanpa melupakan segi seni dan artistiknya.
Kesenjangan yang besar antara harapan pasien dengan kenyataan yang
diperolehnya menyusul dilakukannya merupakan predisposing faktor.
Kebanyakan orang kurang dapat memahami bahwa sebenarnya masih banyak faktor
lain di luar kekuasaan dokter yang dapat mempengaruhi hasil upaya medis,
seperti misalnya stadium penyakit, kondisi fisik, daya tahan tubuh, kualitas
obat dan juga kepatuhan pasien untuk mentaati nasehat dokter. Faktor-faktor
tadi dapat mengakibatkan upaya medis (yang terbaik sekalipun) menjadi tidak
berarti apa-apa. Oleh sebab itu, tidaklah salah jika kemudian dikatakan bahwa
hasil suatu upaya medis penuh dengan uncertainty dan tidak dapat
diperhitungkan secara matematik.
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan
Antara Dokter Dengan Pasien
1.
Pola Hubungan
Hukum Antara Dokter Dengan Pasien
Hubungan hukum
antara dokter dengan pasien telah terjadi sejak dahulu (jaman Yunani kuno),
dokter sebagai seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang
membutuhkannya. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena
didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter yang disebut dengan
transaksi terapeutik. Hubungan yang sangat pribadi itu oleh Wilson digambarkan
seperti halnya hubungan antara pendeta dengan jemaah yang sedang mengutarakan
perasaannya. Pengakuan pribadi itu sangat penting bagi eksplorasi diri,
membutuhkan kondisi yang terlindung dalam ruang konsultasi.
Ditinjau dari aspek sosiologis, hubungan hukum dokter dan
pasien dewasa ini mengalami perubahan, semula kedudukan pasien dianggap tidak
sederajat dengan dokter, karena dokter dianggap paling tahu terhadap pasiennya,
dalam hal ini kedudukan pasien sangat pasif, sangat tergantung kepada dokter.
Namun dalam perkembangannya hubungan antara dokter dan pasien telah mengalami
perubahan pola, di mana pasien dianggap sederajat kedudukannya dengan dokter.
Segala tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasiennya harus
mendapat persetujuan dari pasien, setelah sang pasien mendapatkan penjelasan
yang cukup memadai tentang segala seluk beluk penyakit dan upaya tindakan
mediknya.
Hubungan hukum
timbul bila pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang
dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan
peringatan bahwa ia merasa sakit, dan dalam hal ini dokterlah yang dianggapnya
mampu menolongnya, dan memberikan bantuan pertolongan. Jadi, kedudukan dokter
dianggap lebih tinggi oleh pasien, dan peranannya lebih penting daripada
pasien.
Sebaliknya,
dokter berdasarkan prinsip “father knows best” dalam hubungan
paternatistik ini akan mengupayakan untuk bertindak sebagai ‘bapak yang baik’,
yang secara cermat, hati-hati untuk menyembuhkan pasien. Dalam mengupayakan
kesembuhan pasien ini, dokter dibekali oleh Lafal Sumpah dan Kode
Etik Kedokteran Indonesia.
Pola hubungan
vertikal yang melahirkan sifat paternalistik dokter terhadap pasien ini
mengandung baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif pola
vertikal yang melahirkan konsep hubungan paternalistik ini sangat membantu
pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya
dapat juga timbul dampak negatif, apabila tindakan dokter yang berupa
langkah-langkah dalam mengupayakan penyembuhan pasien itu merupakan
tindakan-tindakan dokter yang membatasi otonomi pasien, yang dalam sejarah
perkembangan budaya dan hak-hak dasar manusia telah ada sejak lahirnya. Pola
hubungan yang vertikal paternalistik ini bergeser pada pola horizontal
kontraktual.
Hubungan
ini melahirkan aspek hukum horisontal kontraktual yang bersifat “inspanningsverbintenis”6
yang merupakan hubungan hukum antara 2 (dua) subyek hukum (pasien dan dokter)
yang berkedudukan sederajat melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang
bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau
kematian), karena obyek dari hubungan hukum itu berupa upaya dokter berdasarkan
ilmu pengetahuan dan pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan
pasien.
2.
Saat Terjadinya Hubungan Hukum
Antara Dokter Dengan Pasien
Hubungan hukum kontraktual yang terjadi antara pasien dan
dokter tidak dimulai dari saat pasien memasuki tempat praktek dokter
sebagaimana yang diduga banyak orang7, tetapi justru sejak dokter
menyatakan kesediaannya yang dinyatakan secara lisan (oral statement)
atau yang tersirat (implied statement) dengan menunjukkan sikap atau
tindakan yang menyimpulkan kesediaan; seperti misalnya menerima pendaftaran,
memberikan nomor urut, menyediakan serta mencatat rekam medisnya dan
sebagainya. Dengan kata lain hubungan terapeutik juga memerlukan kesediaan
dokter. Hal ini sesuai dengan asas konsensual dan berkontrak.
3.
Sahnya Transaksi Terapeutik
Mengenai syarat sahnya transaksi terapeutik didasarkan Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa untuk syarat
sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat sebagai berikut8
:
a.
Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya (toestemming van degene die zich verbinden)
Secara yuridis, yang dimaksud adanya kesepakatan adalah
tidak adanya kekhilafan, atau paksaan, atau penipuan (Pasal 1321 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata).
Saat
terjadinya perjanjian bila dikaitkan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata merupakan saat terjadinya kesepakatan antara dokter dengan pasien
yaitu pada saat pasien menyatakan keluhannya dan ditanggapi oleh dokter. Di
sini antara pasien dengan dokter saling mengikatkan diri pada suatu perjanjian
terapeutik yang obyeknya adalah upaya penyembuhan. Bila kesembuhan adalah
tujuan utama maka akan mempersulit dokter karena tingkat keparahan penyakit
maupun daya tahan tubuh terhadap obat setiap pasien adalah tidak sama. Obat
yang sama tidak pasti dapat hasil yang sama pada masing-masing penderita.
b.
Kecakapan untuk membuat perikatan (bekwaamheid
om eene verbintenis aan te gaan)
Secara yuridis, yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat
perikatan adalah kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri, karena tidak
dilarang oleh undang-undang. Hal ini didasarkan Pasal 1329 dan 1330 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Menurut Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa setiap
orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika oleh undang-undang tidak
dinyatakan tidak cakap. Kemudian, di dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, disebutkan orang-orang yang dinyatakan tidak cakap yaitu orang yang
belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, orang perempuan, dalam
hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada
siapa undang-undang telah melarang
dibuat perjanjian tertentu
Di dalam transaksi terapeutik, pihak penerima pelayanan medis,
terdiri dari orang dewasa yang cakap untuk bertindak, orang dewasa yang tidak
cakap untuk bertindak, yang memerlukan persetujuan dari pengampunya, anak yang
berada di bawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tuanya atau
walinya.
c.
Suatu
hal tertentu (een bepaald onderwerp)
Kedua belah pihak harus mengetahui secara pasti dan jelas apa yang
diperjanjikan serta tujuan perjanjian itu. Dalam hubungan dokter-pasien,
objeknya adalah suatu usaha penyembuhan oleh dokter terhadap pasiennya ,
bukanlah sembuh atau tidaknya pasien.
d.
Suatu sebab yang halal (geoorloofde
oorzaak)
Suatu
sebab yang halal yaitu suatu sebab yang diizinkan atau lazim, tidak
bertentangan dengan hukum, kesusilaan, ketertiban umum atau masyarakat. Pasal
1335 KUHPerdata menyebutkan “suatu perjanjian tanpa sebab atau dibuat dengan
suatu sebab yang palsu atau sebab yang tidak diizinkan, apabila dilarang oleh
undang-undang, atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”
4.
Persetujuan Tindakan Medis (Informed
Consent )
Persetujuan
atas dasar informasi atau dikenal dengan istilah Informed Consent pada
hakikatnya merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri berfungsi
didalam praktik dokter.
Penentuan
nasib sendiri adalah nilai, sasaran dalam informed consent, dan inti
sari permasalahan informed consent adalah alat. Secara konkrit
persyaratan informed consent adalah untuk setiap tindakan baik yang
bersifat diagnostic maupun terapeutik, pada asanya senantiasa diperoleh
persetujuan pasien yang bersangkutan.34Didalam Pasal 2 Peraturan
Mentri Kesehatan No.585/Men.Kes/Per/IX/1989 dinyatakan bahwa semua tindakan
medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Persetujuan dimaksud diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat
tentanng perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risiko yang dapat
ditimbulkannya.
Persetujuan
tindakan medis bisa dibicarakan dari dua sudut, pertama membicarakan
persetujuan tindakan medis dari dari pengertian umum dan kedua membicarakan
persetujuan tindakan medis dari pengertian khusus. Dalam pelayanan kesehatan
sering pengeertian kedua lebih dikenal yaitu persetujuan tindakan medis yang
dikaitkan dengan persetujuan atau izin yang didapat dari pasien atau lebih
sering dari keluarga pasien untuk melakukan tindakan opertaif atau tindakan
invasive yang biasanya mempunyai risiko. Oleh karena itu dulu persetujuan
tindakan medis jenis ini sering disebut surat izin operasi, surat persetujuan
pasien, surat perjanjian dan lain-lain istilah yang dirasa sesuai oleh Rumah
Sakit atau Dokter yang merancang surat persetujuan atau surat izin operasi ini.
Dari
pandangan dokter atau rumah sakit tujuan dari surat ini adalah agar pasien atau
keluarga pasien mengetahui bahwa operasi dan tindakan medis ini harus ditempuh
dan dokter telah diberi izin untuk melakukan tindakan tersebut. Jika pasien
sudah mengerti sepenuhnya dan memberikan persetujuan (izinnya) maka barulah
dokter spesialis itu boleh melaksanakan tindakannya. Demikian pula tindaka
medis lain yang mengandung risiko, misalnya aortografi. Sebagai lanjutan kepada
pasien akan dimintakan untuk menandatangani suatu formulir sebagai tanda bukti
persetujuannya.
Harus
diadakan perbedaan antara:
·
Persetujuan
atau izin pasien yang diberikan secara lisan pada saat dokter dan pasien
berdialog dan memperoleh kesepakatan.
·
Penandatanganan
formulir tersebut oleh pasien (yang sebenarnya merupakan pelaksanaan kelanjutan
dari apa yang sudah disepakati bersama dan sudah diperoleh pada waktu dokter
memberikan penjelasannya.
Oleh
karena itu sebelum pasien memberikan persetujuannya diperlukan beberapa masukan
sebagai berikut:
·
Penjelasan
lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu
(yang masih berupa upaya, percobaan) yang diusulkan oleh dokter serta tujuan
yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan),
·
Deskripsi
mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tak dinginkan yang
mungkin timbul,
·
Diskripsi
mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh pasien,
·
Penjelasan
mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung,
·
Penjelasan
mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa adanya prasangka
(jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya.
·
Prognosis
mengenai kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis tertentu
(percobaan) tersebut.
Pernyataan
tanda setuju secara tertulis dengan penandatanganan formulir hanya untuk
memudahkan pembuktian jika pasien kelak menyangkal telah memberikan
persetujuannya. Dengan sudah ditandatanganinya formulir tersebut maka jika
pasien menyangkal, pasien harus membukikan bahwa ia tidak diberikan informasi.
Namun jika hanya ditandatangani saja oleh pasien tanpa diberikan informasi yang
jelas terlebih dahulu oleh dokternya, maka secarik kertas itu secara yuridis
tidak merupakan bukti kuat bagi sang dokter. Karena pasien dianggap belum “informed”
sehingga belum terdapat suatu kesepakatan dalam arti yang sebenarnya. Dengan
perkataan lain belum ada “consent” yang “informed” dari pasien
sebagai mana sudah diatur didalam PerMenKes No. 585 tersebut
“Hubungan
pasien dengan dokter adalah suatu Perikatan Berusaha (Inspannings-verbintenia)
yaitu dimana dalam melaksanakan tugasnya dokter berusaha untuk mnyembuhkan atau
memulihkan kesehatan pasien. Dalam memberikan jasa ini dokter tidak boleh dan
tidak mungkin dapat memberikan jaminan/garansi kepada pasiennya. Dan dokter
juga tidak dapat dipersalahkan begitu saja apabila hasil usahanya itu tidak
sesuai dengan yang diharapkan, sepanjang dalam melakukannya dokter telah
mematuhi standart profesi dan menghormati hak-hak pasien.”
“Pasien
umumnya hanya dapat menerima saja segala sesuatu yang dikatakan dokter tanpa
dapat bertanya apapun. Dengan kata lain, semua keputusan sepenuhnya berada
ditangan dokter. Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap
hak-haknya, maka pola hubungan demikian ini juga mengalami perubahan yang
sangat berarti. Pada saat ini secara hukum dokter adalah partner dari
pasien yang sama atau sederajat kedudukannya, pasien mempunyai hak dan
kewajiban teertentu seperti halnya dokter.”
B. Tanggung Jawab Hukum Dokter
Terhadap Pasien
Dokter
sebagai tenaga professional bertanggung jawab dalam setiap tindakan medis yang
dilakukan terhadap pasien. Dalam menjalankan tugas profesionalnya didasarkan
pada niat baik yaitu berupaya dengan sungguh-sungguh berdasarkan pengetahuannya
yang dilandasi dengan sumpah dokter, kode etik kedokteran dan standar
profesinya untuk menyembuhkan atau menolong pasien. Antara lain adalah:
1. Tanggung Jawab Etis
Peraturan yang mengatur tanggung jawab
etis dari seorang dokter adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Lafal Sumpah
Dokter. Kode etik adalah pedoman perilaku. Kode Etik Kedokteran Indonesia
dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan no. 434 /
Men.Kes/SK/X/1983.
Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun
dengan mempertimbangkan International Code of Medical Ethics dengan
landasan idiil Pancasila dan landasan strukturil Undang-undang Dasar 1945. Kode
Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur hubungan antar manusia yang mencakup
kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya, kewajiban
dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.54Pelanggaran
terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan
pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan
sekaligus pelanggaran hukum. Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran
hukum, sebaliknya pelanggaran hukum tidak selalu merupakan pelanggaran etik
kedokteran.
Berikut diajukan beberapa contoh :
a)
Pelanggaran etik murni
·
Menarik imbalan yang tidak wajar atau
menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter dan dokter gigi.
·
Mengambil alih pasien tanpa persetujuan
sejawatnya.
·
Memuji diri sendiri di depan pasien.
·
Tidak pernah mengikuti pendidikan
kedokteran yang berkesinambungan.
·
Dokter
mengabaikan kesehatannya sendiri.
b)
Pelanggaran
etikolegal
·
Pelayanan
dokter di bawah standar.
·
Menerbitkan
surat keterangan palsu.
·
Membuka
rahasia jabatan atau pekerjaan dokter.
·
Abortus
provokatus.
2. Tanggung Jawab Profesi
Tanggung
jawab profesi dokter berkaitan erat dengan profesionalisme seorang dokter. Hal
ini terkait dengan:
·
Pendidikan,
pengalaman dan kualifikasi lain
Dalam
menjalankan tugas profesinya seorang dokter harus mempunyai derajat pendidikan
yang sesuai dengan bidang keahlian yang ditekuninya. Dengan dasar ilmu yang
diperoleh semasa pendidikan di fakultas kedokteran maupun spesialisasi dan
pengalamannya untuk menolong penderita
·
Derajat
risiko perawatan
Derajat risiko perawatan
diusahakan untuk sekecil-kecilnya, sehingga efek samping dari pengobatan
diusahakan seminimal mungkin. Di samping itu mengenai derajat risiko perawatan
harus diberitahukan terhadap penderita maupun keluarganya, sehingga pasien
dapat memilih alternatif dari perawatan yang diberitahukan oleh dokter tetapi
informasi mengenai derajat perawatan timbul kendala terhadap pasien
dokter juga
mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu sebagai berikut:
1.
kewajiban
untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi, yaitu dengan
cara melakukan tindakan medis dalam suatu kasus yang konkret menurut ukuran
tertentu yang didasarkan pada ilmu medis dan pengalaman.
2.
Kewajiban
untuk menghormati hak-hak pasien, antara lain rahasia atas kesehatan pasien
bahkan setelah pasien meninggal dunia.
3.
Kewajiban
untuk memberikan informasi pada pasien dan/atau keluarganya tentang tindakan
medis yang dilakukannya dan risiko yang mungkin terjadi akibat tindakan medis
tersebut.
4.
Kewajiban
merujuk pasien untuk berobat ke dokter lain yang mempunyai keahlian/kemampuan
yang lebih baik
5.
Kewajiban
untuk memberikan pertolongan dalam keadaan darurat sebagai tugas
perikemanusiaan.
C.
Kedudukan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan
Pasien
adalah orang yang ingin mendapat pelayanan kesehatan hal ini memerlukan batasan
khusus antara lain dimana setiap orang menginginkan dirinya sehat. Dalam
hubungan antara dokter dan pasien maka hukum kesehatan individu (medical
law) atau Hukum Kedokteran dapat dibatasi pada hukum yang mengatur antara
dokter dan pasien, yang disebabkan karena adanya hubungan dengan pihak lain,
baik itu pasien maupun tenaga kesehatan yang lain. Batasan ruang lingkup
rumusan pengertian hukum kesehatan ini perlu ditetapkan oleh sekelompok orang
yang mempunyai keahlian dalam bidangnya itu karena akan berbeda jika digunakan
istilah (terminologi) hukum kesehatan hal mana akan berkaitan dengan sistem
kesehatan suatu masyarakat atau negara.
Hal ini
telah dijelaskan pada bagian awal dimana untuk mewujudkan masyarakat Indonesia
yang sehat maka perlu adanya pengaturan tentang pelayanan kesehatan dan demi
menjamin hak dari pada setiap orang yaitu hak untuk hidup yang merupakan salah
satu hak asasi. Pergeseran dimensi bekerjanya hak asasi manusia tersebut dalam
masyarakat banyak atau sedikit memberi warna terhadap perkembangan hukum kedokteran
yang semula bertumpu pada hak asasi individual, ini memacu pada perkembangan
kearah titik berat kewajiban asasinya yang merupakan perwujudan dari dimensi
sosialnya.
Berbicara
mengenai hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan, secara umum hak pasien tersebut
dapat dirinci sebagai berikut:
·
Hak
pasien atas perawatan
·
Hak
untuk menolak cara perawatan tertentU
·
Hak
untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan merawat pasien
·
Hak
Informasi
·
Hak
untuk menolak perawatan tanpa izin
·
Hak
atas rasa aman
·
Hak
atas pembatasan terhadap pengaturan kebebasan perawatan
·
Hak
untuk mengakhiri perjanjian perawatan
·
Hak
atas twenty-for-a-day-visitor-rights
·
Hak
pasien menggugat atau menuntut
·
Hak
pasien mengenai bantuan hokum
·
Hak
pasien untuk menasihatkan mengenai percobaan oleh tenaga kesehatan atau
ahlinya.
Berbarengan
dengan hak tersebut pasien juga mempunyai kewajiban, baik kewajiban secara
moral maupun secara yuridis. Secara moral pasien berkewajiban memelihara kesehatannya
dan menjalankan aturan-aturan perawatan sesuai dengan nasihat dokter yang
merawatnya. Beberapa kewajiban pasien yang harus dipenuhinya dalam pelayanan
kesehatan adalah sebagai berikut:
2.
Kewajiban
memberikan informasi medis
3.
Kewajiban
melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatan
4.
Kewajiban
memenuhi aturan-aturan pada kesehatan
5.
Kewajiban
untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungannya dengan dokter
atau tenaga kesehatan
6.
Kewajiban
memberikan imbalan jasa
7. Menyimpan rahasia pribadi dokter yang
diketahuinya
Berdasarkan
pada perjanjian terapeutik yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak,
dokter juga mempunyai hak dan kewajiban sebagai pengemban profesi. Hak-hak
dokter sebagai pengemban profesi dapat dirumuskan sebagai berikut:
·
Hak
memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-jujurnya dari pasien
yang akan digunakannya bagi kepentingan diagnosis maupun terapeutik.
·
Hak
atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanan yang diberikannya kepada
pasien.
·
Hak
atas itikad baik dari pasien atau keluarganya dalam melaksanakan transaksi
terapeutik.
·
Hak
membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas pelayanan kesehatan
yang diberikannya.
·
Hak
untuk memperoleh persetujuan tindakan medic dari pasien atau keluarganya.
C.
Hubungan Hukum Dokter & Pasien
Hubungan
antara dokter & pasien selain hubungan medik, terbentuk pula hubungan
hukum. Pada hubungan medik, hubungan dokter & pasien adalah hubungan yang
tidak seimbang, dalam arti pasien adalah orang sakit & dokter adalah orang
sehat; pasien adalah awam & dokter adalah pakar. Namun dalam hubungan hukum
terdapat hubungan yang seimbang, yakni hak pasien menjadi kewajiban dokter
& hak dokter menjadi kewajiban pasien & keduanya adalah subyek hukum
pribadi. Dilihat dari jenis pekerjaan yang ada di dalam hubungan dokter &
pasien, maka jelas terbentuk hubungan untuk melakukan pekerjaan (jasa)
tertentu, yakni dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan & pasien
sebagai penerima pelayanan kesehatan.
Pekerjaan
dokter dapat dikatakan sebagai profesi, sebab dilakukan berdasarkan pendidikan
formal di pendidikan tinggi kedokteran & dokter sebagai professional
mempunyai kewenangan profesional dalam menjalankan profesinya. Selain itu
terdapat etika profesi yang menjadi pedoman tingkah laku dokter dalam
menjalankan profesinya sebagai dokter. Kata dokter bukanlah titel, sarjana
kedokteran adalah titel, sama dengan yuris adalah kata untuk profesi dari
sarjana hukum.
Hubungan
hukum antara dokter & pasien dapat terbentuk perikatan yang lahir karena
perjanjian & dapat pula terbentuk perikatan yang lahir karena UU. Contoh
hubungan hukum dokter & pasien yang lahir karena perjanjian, adalah apabila
pasien datang ke tempat praktik dokter, yang melakukan penawaran jasa pelayanan
kesehatan dengan memesang papan nama, dalam arti pasien menerima penawaran dari
dokter, maka terbentuklah perikatan yang lahir karena perjanjian. Perikatan
antara dokter & pasien yang lahir karena UU, apabila dokter secara sukarela
membantu orang yang menderita karena kecelakaan, di mana dokter sebagai misal,
sedang lewat di tempat kecelakaan, tanpa ada perintah atau permintaan dari
siapa pun, dokter menyelenggarakan kepentingan yang menderita kecelakaan, maka
dokter mempunyai kewajiban untuk sampai menyelesaikan pekerjaan sampai orang
yang celaka atau keluarganya, dapat mengurusnya.
Dituliskan
sebelumnya, doktrin ilmu hukum mengatakan ada dua macam perikatan, yaitu
perikatan hasil di mana prestasinya berupa hasil tertentu & perikatan
ikhtiar di mana prestasinya berupa upaya semaksimal mungkin. Perikatan antara
dokter dengan pasien hampir seluruhnya berupa perikatan ikhtiar, di mana dokter
berupaya semaksimal mungkin untuk mengobati penyakit yang diderita oleh pasien.
Apabila dokter telah berupaya semaksimal mungkin & pasien tidak sembuh juga, maka dokter telah cukup bekerja dengan baik, karena perikatannya berupa ikhtiar. Dengan perkataan lain, pasien tidak dapat menuntut dokter untuk menyembuhkan penyakitnya, dokter harus berupaya semaksimal mungkin untuk mengobati pasien.
Sepakat mereka yang mengikatkan diri sebagai adalah syarat pertama bagi sahnya perjanjian, seringkali diartikan bahwa sepakat ini harus dinyatakan dengan tegas, namun ada sepakat yang dinyatakan dengan diam-diam, dalam arti apabila pasien tidak menolak, maka telah terjadi sepakat yang dinyatakan dengan diam-diam. Dengan perkataan lain, kalau pasien menolak pelayanan kesehatan harus dinyatakan dengan tegas.
Apabila dokter telah berupaya semaksimal mungkin & pasien tidak sembuh juga, maka dokter telah cukup bekerja dengan baik, karena perikatannya berupa ikhtiar. Dengan perkataan lain, pasien tidak dapat menuntut dokter untuk menyembuhkan penyakitnya, dokter harus berupaya semaksimal mungkin untuk mengobati pasien.
Sepakat mereka yang mengikatkan diri sebagai adalah syarat pertama bagi sahnya perjanjian, seringkali diartikan bahwa sepakat ini harus dinyatakan dengan tegas, namun ada sepakat yang dinyatakan dengan diam-diam, dalam arti apabila pasien tidak menolak, maka telah terjadi sepakat yang dinyatakan dengan diam-diam. Dengan perkataan lain, kalau pasien menolak pelayanan kesehatan harus dinyatakan dengan tegas.
Sehubungan
dengan sahnya perjanjian antara dokter & pasien, terdapat hal yang menarik
& seringkali terjadi, bahwa syarat “kecakapan untuk membuat suatu
perikatan” di dalam Pasal 1320 KUHPer mensyaratkan cakap berdasarkan hukum,
yaitu usia dewasa, dalam arti menurut KUHpdt adalah 21 tahun & menurut UU
no. 1/1974 tentang Perkawinan adalah 18 tahun.
Apabila
seorang anak belum dewasa, datang sendirian ke tempat praktik dokter &
membutuhkan jasa pelayanan kesehatan, apakah dokter dapat menolaknya dengan
alasan belum dewasa? Padahal dokter tidak boleh menolak permintaan bantuan jasa
pelayanan kesehatan dari siapa pun juga. Tentunya dokter tidak dapat menolak,
terlebih dalam keadaan darurat, ketentuan ini dapat diabaikan, namun untuk
tindakan invasif, sebaiknya diupayakan agar ada wali yang mendampingi anak.
Perlu diketahui bahwa di beberapa negara telah memberikan hak kepada anak
berumur 14 tahun untuk mandiri dalam bidang pelayanan kesehatan.
Mengenai
syarat yang ketiga, suatu hal tertentu, pelayanan kesehatan yang menjadi obyek
perjanjian (suatu hal tertentu), adalah pelayanan kesehatan untuk mengobati pasien
yang harus dapat dicapai, kalau pengobatan itu tidak dapat/tidak mungin
dilaksanakan, maka obyeknya perikatan menjadi tidak tertentu.
Syarat yang terakhir, mengenai suatu sebab (kausa) yang halal, dimaksudkan bahwa diselenggarakannya pelayanan kesehatan yang menjadi tujuan dari pelayanan kesehatan itu sendiri, harus diperbolehkan oleh hukum, ketertiban & kesusilaan. Contoh pelayanan kesehatan yang melanggar hukum adalah tindakan pengguguran kandungan tanpa alasan medik, yang dikenal sebagai pengguguran kandungan buatan yang kriminalis.
Syarat yang terakhir, mengenai suatu sebab (kausa) yang halal, dimaksudkan bahwa diselenggarakannya pelayanan kesehatan yang menjadi tujuan dari pelayanan kesehatan itu sendiri, harus diperbolehkan oleh hukum, ketertiban & kesusilaan. Contoh pelayanan kesehatan yang melanggar hukum adalah tindakan pengguguran kandungan tanpa alasan medik, yang dikenal sebagai pengguguran kandungan buatan yang kriminalis.
Kemudian
pembahasan mengenai akibat hukum perjanjian yang sah, diatur di dalam Pasal
1338 KUHPer. Namun dalam pelayanan kesehatan mengalami penyimpangan, sebab
perjanjian pelayanan kesehatan antara dokter & pasien yang telah dibuat
secara sah, yang berlaku sebagai UU bagi para pihak, dapat diputuskan tanpa
sepakat pihak yang lainnya oleh pasien, karena pasien kapan saja dapat
memutuskan perjanjian tanpa alasan apa pun juga. Dokter tidak dapat memaksakan
kehendak kepada pasien, pasien mempunyai hak untuk menentukan diri sendiri (the
right of self determination), yang merupakan hak asasi pasien. Dokter hanya
dapat memberikan informasi kepada pasien & harus meminta persetujuan untuk
diteruskan pelayanan kesehatan. Pemberian persetujuan atau penolakan
persetujuan pelayanan kesehatan adalah sepenuhnya hak dari pasien. Meski pun
dokter tahu bahwa dengan diputuskannya perjanjian pelayanan kesehatan, dapat
menyebabkan pasien meninggal dunia, dokter tidak berhak memaksakan pelayanan
kesehatan.
D.
Hukum dan Etik Dalam Pelayana Kesehatan
Seorang dokter dalam menjalankan
tugasnya mempunyai alasan yang mulia, yaitu berusaha untuk menyehatkan tubuh
pasien, atau setidak-tidaknya berbuat untuk mengurangi penderitaan pasien. Oleh
karenanya dengan alasan yang demikian wajarlah apabila apa yang dilakukan oleh
dokter itu layak untuk mendapatkan perlindungan hukum sampai batas-batas
tertentu. Sampai batas mana perbuatan dokter itu dapat dilindungi oleh hukum,
inilah yang menjadi permasalahan. Mengetahui batas tindakan yang diperbolehkan
menurut hukum, merupakan hal yang sangat penting, baik bagi dokter itu sendiri
maupun bagi pasien dan para aparat penegak hukum.
Jika seorang dokter tidak mengetahui
tentang batas tindakan yang diperbolehkan oleh hukum dan menjalankan tugas
perawatannya, sudah barang tentu dia akan ragu-ragu dalam melakukan tugas
tersebut, terutama untuk memberikan diagnosis dan terapi terhadap penyakit yang
diderita oleh pasien. Keraguan bertindak seperti itu tidak akan menghasilkan
suatu penyelesaian yang baik, atau setidak-tidaknya tidak akan memperoleh
penemuan baru dalam ilmu pengobatan atau pelayanan kesehatan. Bahkan bisa saja
terjadi suatu tindakan yang dapat merugikan pasien. Demikian juga bagi aparat
penegak hukum yang menerima pengaduan, sudah selayaknya mereka terlebih dahulu
harus mempunyai pandangan atau pengetahuan yang cukup mengenai hukum kesehatan,
agar dapat menentukan apakah perbuatannya itu melanggar etika atau melanggar hukum.
Disadari sepenuhnya bahwa pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh seorang dokter kepada pasien tidak selamanya
berhasil dengan baik. Adakalanya usaha tersebut mengalami kegagalan. Faktor
penyebab kegagalan ini banyak macamnya, mungkin karena kurangnya pehaman dokter
yang bersangkutan terhadap penyakit yang diderita oleh pasien, atau karena
minimnya peralatan yang digunakan untuk melakukan diagnosis dan terapi. Namun
tidak jarang terjadinya kegagalan itu bersumber dari faktor manusianya sendiri,
yakni karena adanya kesalahan daro dokter dalam mengadakan diagnosis dan
terapi. Hal yang terakhir ini membuat masyarakat awam beranggapan bahwa dokter
telah gagal atau dianggap gagal dalam melaksanakan tugas perawatannya.
Memang dalam kenyataannya, seorang
dokter dapat saja salah atau khilaf atau lalai dalam menjalankan tugasnya. Akan
tetapi karena profesi dokter merupakan jabatan yang khusus, maka terdapat pula
persyaratan yang khusus untuk mempermasalahkan tindakan dokter.
Persyaratan-persyaratan tersebut dapat ditinjau dari segi ilmu kesehatan atau
dari segi hukum. Tentang mengapa harus dilakukan peninjauan dari sudut hukum,
alasannya karena semenjak zaman dahulu hukum telah membebani seorang dokter
dengan syarat-syarat yang cukup berat dalam menjalankan tugasnya, dengan
demikian terlihat betapa eratnya kaitan hukum dengan profesi dokter dalam
pelayanan kesehatan.
Pada dasawarsa terakhir ini, sering
timbul reaksi defensif dari masyarakat terhadap perkembangan pelayanan
kesehatan, reaksi itu dengan cepat membangkitkan kesadaran masyarakat tentang
hak atas pelayanan kesehatan, persoalan ini menyebabkan aspek hukum antara
dokter dengan pasien menjadi semakin penting. Perkembangan ini di satu pihak
mengandung makna yang sangat positif karena memperlihatkan meningkatnya
kesadaran masyarakat terhadap hukum pada umumnya, dilain pihak perkembangan
tersebut merupakan tantangan bagi profesi dokter dalam upayanya memberikan
pelayanan kesehatan terhadap pasien yang terikat dalam hubungan transaksi
terapeutik.
Hubungan kepercayaan antara dokter
dengan pasien yang tadinya sudah cukup diatur dengan kaidah-kaidah moral, yakni
melalui etika profesi atau kode etik, kini dengan perkembangan yang terjadi,
mulai dirasakan perlunya pengaturan dengan kaidah-kaidah yang lebih memaksa
secara normatif. Kepatuhan terhadap aturan ini tidak lagi sepenuhnya
digantungkan pada kesadaran dan kemauan bebas dari kedua belah pihak, oleh
karena itu pengaturan tersebut harus dituangkan melalui kaidah-kaidah hukum yang
bersifat memaksa
Pada hakikatnya, sikap yang demikian
itu muncul karena adanya keinginan atau usaha untuk mempertahankan hak dengan
perlindungan hukum. Aspek hukum itu dimunculkan untuk melindungi kepentingan
terhadap pemberian pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya. Dengan kata lain
aspek hukum itu ditimbulkan oleh perkembangan yang pesat dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang kesehatan. Dengan demikian, jika pasien atau
keluarganya merasa kepentingannya dirugikan oleh dokter, mereka akan menempuh
satu-satunya jalan yang masih terbuka baginya, yaitu upaya gugatan hukum.
Mengingat hakikat hubungan antara
dokter dengan pasien yang diikat dalam transaksi terapeutik sebagaimana
diuraikan diatas. Apabila dipandang dari sudut hukum, hubungan itu pada umumnya
termasuk perikatan ikhtiar, oleh karena itu kewajiban hukum atau prestasi yang
harus diwujudkan oleh dokter, adalah ikhtiar semaksimal mungkin dalam batas
keahliannya untuk menyembuhkan pasien. Sepanjang ikhtiar yang dilakukan oleh
dokter itu didasarkan pada keahlian dan pengetahuan yang dimilikinya, tindakan
yang dilakukan oleh dokter itu merupakan tindakan yang sah. Wanprestasi atau
ingkar janji baru terjadi apabila dokter tidak melaksanakan prestasi sesuai
dengan apa yang disepakati, sedangkan perbuatan melanggar hukum terjadi jika
terapi yang dilakukan oleh dokter menyimpang dari patokan atau standar yang
ditentukan.
Masalahnya sekarang, adalah sangat
sulit untuk menentukan kapan suatu tindakan medis memenuhi patokan atau standar
pelayanan kesehatan. Pengaturan hukum seperti yang tercantum dalam KUHPerdata masih
bersifat terlalu umum. Untuk itu diperlukan adanya suatu pengaturan yang isinya
mengatur hubungan antara pasien dengan dokter.
Dalam kaitannya dengan hal ini Van
der Mijn (1989) mengemukakan adanya sembilan alasan tentang perlunya pengaturan
hukum yang mengatur hubungan antara pasien dengan dokter.
1. Adanya kebutuhan pada keahlian keilmuan medis.
2. Kualitas pelayanan kesehatan yang baik.
3. Hasil guna.
4. Pengendalian biaya.
5. Ketertiban masyarakat.
6. Perlindungan hukum pasien.
7. Perlindungan hukum pengemban profesi kesehatan.
8. Perlindungan hukum pihak ketiga, dan
9. Perlindungan hukum kepentingan hukum.
Dari apa yang dikemukakan oleh Van
der Mijn diatas, dapat dilihat bahwa hubungan antara pasien dengan dokter
mempunyai aspek etis dan aspek yuridis. Artinya hubungan itu diatur oleh kaidah
hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan demikian baik
pasien maupun dokter mempunyai kewajiban dan tanggung jawab secara etis dan
yuridis, sebagai konsekuensinya mereka juga bertanggung jawab dan bertanggung
gugat secara hukum.
Dalam praktik, sehubungan dengan
tanggung jawab atau tanggung gugat hukum ini, timbul masalah karena sulitnya
menarik garis yang jelas untuk memisahkan antara etik dan yuridis dalam
hubungan antara dokter dengan pasien, khususnya yang berkaitan dengan tindakan
medis.
Kesulitan disini timbul karena etika
merupakan suatu refleksi tentang perbuatan bertanggung jawab. Dalam etika
dilakukan renungan yang mendasar tentang kapan sesuatu itu dikatakan
bertanggung jawab. Artinya pelaku harus mampu menjawab dan menjelaskan mengapa
ia melakukan perbuatan atau tindakan tertentu. Disamping itu etika sangat
dipengaruhi oleh pandangan agama, pandangan hidup, kebudayaan, dan kekayaan
yang hidup ditengah masyarakat, sehingga sangat sulit untuk menilainya.
Etika terikat dan dipengaruhi oleh
perubahan-perubahan yang berlangsung dalam ruang dan waktu. Hal ini jelas
terlihat sebagaimana dimuat dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
99a/Menkes/SK/III/1982 tentang Sistem Kesehatan Nasional, untuk selanjutnya hal
hal ini dipertegas lagi dalam Penjelasan Umum UU No.23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, yang menyatakan bahwa dalam banyak hal telah terjadi perubahan
orientasi mengenai pemikiran dan pendekatan dalam pelayanan kesehatan. Itu
sebabnya garis pemisah antara etika dan hukum tidak jelas, karena dari waktu ke
waktu selalu bergerak mengikuti perkembangan dan perubahan-perubahan yang
terjadi ditengah masyarakat, seperti yang dikatakan Koeswadji (1992 : 124):
”Norma etika umum masyarakat dengan norma etika kesehatan-kedokteran saling
mempengaruhi,, atau dengan lain perkataan, nilai dan pandangan hidup yang
dicerminkan oleh etika profesi kesehatan-kedokteran dalam suatu masyarakat
tertentu berlaku untuk suatu waktu tertentu”.
Dari apa yang dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa etika profesi merupakan sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam mengemban profesi. Hanya pengemban profesi itu sendiri yang dapat atau paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi sudah memenuhi tuntutan etika atau tidak. Ini berarti kepatuhan pada etika profesi sangat tergantung pada akhlak pengemban profesi yang bersangkutan. Disamping itu, sikap dan tata nilai profesional merupakan ciri dan pengakuan masyarakat terhadap eksistensi profesi dalam pembangunan tatanan kehidupan masyarakat, sehingga tata nilai profesi ini bersangkut-paut dan terikat erat dengan nilai humanisme atau kemanusiaan.
Dari apa yang dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa etika profesi merupakan sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam mengemban profesi. Hanya pengemban profesi itu sendiri yang dapat atau paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi sudah memenuhi tuntutan etika atau tidak. Ini berarti kepatuhan pada etika profesi sangat tergantung pada akhlak pengemban profesi yang bersangkutan. Disamping itu, sikap dan tata nilai profesional merupakan ciri dan pengakuan masyarakat terhadap eksistensi profesi dalam pembangunan tatanan kehidupan masyarakat, sehingga tata nilai profesi ini bersangkut-paut dan terikat erat dengan nilai humanisme atau kemanusiaan.
Hal ini terlihat pada salah satu
ciri dari profesi dokter yakni nilai kemanusiaan. Naluri seorang dokter akan terpanggil
tidak hanya terbatas pada upayanya bagaimana ia dapat memberi pelayanan
langsung terhadap penderita dalam membantu memecahkan masalah kesehatan, tetapi
juga seorang dokter berupaya mengembangkan nilai-nilai profesionalismenya
melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan untuk
kepentingan kemanusiaan.
E.
KedudukanTenaga Analis Kesehatan
Standar Profesi Ahli Teknologi
Laboratorium Kesehatan Indonesia adalah suatu standar bagi profesi ahli
teknologi laboratorium kesehatan di Indonesia dalam menjalankan tugas
profesinya untuk berperan secara aktif terarah dan terpadu bagi pembangunan
nasional Indonesia.
Standar Profesi Ahli Teknologi
Laboratorium Kesehatan Indonesia mencakup standar kompetensi kerja yang harus
dimiliki dan kode etik yang harus dilaksanakan oleh ahli teknologi laboratorium
kesehatan Indonesia dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai tenaga kesehatan. Kualifikasi
pendidikan untuk Profesi Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan Indonesia adalah
lulusan Sekolah Menengah Analis Kesehatan (SMAK) atau Akademi Analis Kesehatan
(AAK) atau Akademi Analis Medis (AAM), atau Pendidikan Ahli Madya Analis
Kesehatan (PAM-AK) atau lulusan Pendidikan Tinggi yang berkaitan langsung
dengan laboratorium kesehatan.
Tugas pokok yaitu melaksanakan pelayanan laboratorium kesehatan meliputi bidang Hematologi, Kimia Klinik, Mikrobiologi, Imunologi-serologi,Toksikologi, Kimia Lingkungan, Patologi Anatomi (Histopatologi, Sitopatologi, Histokimia, Imunopatologi, Patologi Molekuler), Biologi dan Fisika. fungsi/kewajiban:
Tugas pokok yaitu melaksanakan pelayanan laboratorium kesehatan meliputi bidang Hematologi, Kimia Klinik, Mikrobiologi, Imunologi-serologi,Toksikologi, Kimia Lingkungan, Patologi Anatomi (Histopatologi, Sitopatologi, Histokimia, Imunopatologi, Patologi Molekuler), Biologi dan Fisika. fungsi/kewajiban:
·
Mengembangkan
prosedur untuk mengambil dan memproses specimen
·
Melaksanakan
uji analitik terhadap reagen dan specimen.
·
Mengoperasikan
dan memelihara peralatan/instrumen laboratorium.
·
Mengevaluasi
data laboratorium untuk memastikan akurasi dan prosedur pengendalian mutu dan
mengembangkan pemecahan masalah yang berkaitan dengan data hasil uji.
·
Mengevaluasi
teknik, instrument, dan prosedur baru untuk menentukan manfaat kepraktisannya.
·
Membantu
klinisi dalam pemanfaatan data laboratorium secara efektif dan efisien untuk
menginterpretasikan hasil uji laboratorium.
·
Merencanakan,
mengatur, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan laboratorium.
·
Membimbing
dan membina tenaga kesehatan lain dalam bidang teknik kelaboratoriuman.
·
Merancang
dan melaksanakan penelitian dalam bidang laboratorium kesehatan.
Kompetensi :
·
Menguasai
ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsinya di
laboratorium Kesehatan.
·
Mampu
merencanakan/merancang proses yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsinya
di laboratorium kesehatan sesuai jenjangnya.
·
Memiliki
keterampilan untuk melaksanakan proses teknis operasional pelayanan
laboratorium, yaitu:
a. Keterampilan pengambilan specimen, termasuk penyiapan pasien (bila diperlukan), labeling, penanganan, pengawetan,fiksasi, pemrosesan, penyimpanan dan pengiriman specimen.
b. Keterampilan melaksanakan prosedur laboratorium, metode pengujian dan pemakaian alat dengan benar.
c. Keterampilan melakukan perawatan dan pemeliharaan alat, kalibrasi dan penanganan masalah yang erkaitan dengan uji yang dilakukan.
d. Keterampilan melaksanakan uji kualitas media dan reagen untuk pengujian specimen.
a. Keterampilan pengambilan specimen, termasuk penyiapan pasien (bila diperlukan), labeling, penanganan, pengawetan,fiksasi, pemrosesan, penyimpanan dan pengiriman specimen.
b. Keterampilan melaksanakan prosedur laboratorium, metode pengujian dan pemakaian alat dengan benar.
c. Keterampilan melakukan perawatan dan pemeliharaan alat, kalibrasi dan penanganan masalah yang erkaitan dengan uji yang dilakukan.
d. Keterampilan melaksanakan uji kualitas media dan reagen untuk pengujian specimen.
·
Mampu
memberikan penilaian analitis terhadap hasil uji laboratorium.
·
Memiliki
pengetahuan untuk melaksanakan kebijakan pengendalian mutu dan prosedur
laboratorium.
·
Memiliki
kewaspadaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi hasil uji laboratorium.
0 komentar:
Posting Komentar